Jumat, 19 Maret 2010

STUDI KITAB RAWĀI’ AL-BAYĀN FI TAFSIRI AYĀT AL-AHKĀM MIN AL-QUR'ĀN KARYA MUHAMMAD ALI AS-SĀBŪNI

TAFSIR PERBANDINGAN
(TELAAH ATAS KITAB RAWĀI’ AL-BAYĀN FI TAFSIRI AYĀT AL-AHKĀM MIN AL-QUR'ĀN KARYA MUHAMMAD ALI AS-SĀBŪNI)
Oleh: Shohibul Adib, S.Ag., M.S.I

A. Pendahuluan.
Al-Qur’an adalah sumber utama dan fundamental bagi agama Islam, ia di samping berfungsi sebagai petunjuk (hudan) —antara lain dalam persoalan-persoalan akidah, Syari'ah, moral dan lain-lain —juga berfungsi sebagai pembeda (furqān). Sadar bahwa al-Qur’an menempati posisi sentral dalam studi keislaman, maka lahirlah niatan di kalangan pemikir Islam untuk mencoba memahami isi kandungan al-Qur’an yang dikenal dengan aktivitas penafsiran (al-tafsir). Kesadaran tersebut telah dimulai sejak masa turunnya al-Qur’an yang dipelopori sendiri oleh Muhammad saw.
Setelah berakhir masa salaf sekitar abad ke-3 H seiring dengan majunya peradaban Islam, lahirlah berbagai madzhab di kalangan umat Islam. Masing-masing madzhab meyakinkan pengikutnya dengan menanamkan dan mengembangkan paham mereka. Untuk mencapai maksud itu, tidak jarang mereka menjadikan al-Qur'an dan hadis Nabi sebagai legitimasinya.
Hal ini menjadi salah satu penyebab beralihnya bentuk tafsir dari ma’sur menjadi ra’yu (tafsir melalui pemikiran atau ijtihad al-‘aql). Sebagai contoh, kaum fuqaha yang telah menafsirkan al-Qur'an dari sudut pandang hukum fiqh, seperti al-Qurtubi dalam Al-Jami’ li Ahkām al-Qur'ān. Kaum teolog telah menafsirkan al-Qur'an sesuai dengan pemahaman teologis mereka, seperti Al-Tafsir al-Kabir karya al-Rāzi, begitu juga kaum sufi yang juga menafsirkan al-Qur'an sesuai dengan pemahaman dan pengalaman batin mereka, seperti Ahmad ‘Ata ‘Abd al-Qādir dalam karyanya At-Tafsir as-Sufi li al-Qur'ān. Realita ini sesuai dengan pandangan teori hermeneutika yang menyatakan bahwa seorang mufasir ketika menafsirkan al-Qur'an ia tidak bisa lepas dari pengaruh konteks sosial politik, ekonomi, psikologis, teologis, dan lain-lain.
Lebih lanjut sejarah telah mencatat, sejak al-Qur’an diwahyukan kepada Nabi SAW hatta sekarang, aktifitas atau dinamika penafsiran al-Qur’an tidak pernah mengalami kemandegan, hal ini dikarenakan, al-Qur’an memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tidak terbatas, ia selalu terbuka untuk interprestasi baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal, sehingga dapat dimaklumi jika kemudian muncul beragam metode penafsiran yang telah ditawarkan oleh baik para mufasir, baik klasik, pertengahan, maupun pada masa modern, yang bila ditelusuri sejarah perkembangannya akan ditemukan secara garis besarnya empat metode penafsiran, yakni metode ijmāli (global), metode tahlili (analitis), metode muqarrin (perbandingan), dan yang terkini adalah metode maudhū'i (tematik).
Salah satu dari sekian banyak tafsir yang ada adalah tafsir Rawāi’ al-Bayān fi Tafsiri Ayāt al-Ahkām min Al-Qur'ān karya Muhammad Ali as-Sābūni. Salah satu metode yang ditempuh as-Sābūni, sebagaimana yang dijelaskan dalam muqaddimah tafsirnya, adalah mengambil kandungan hukum dan argumentasi-argumentasi dari para ulama sebelumnya, kemudian ia melakukan al-tarjih di antara dalil-dalil mereka.
Asumsinya, karya as-Sābūni dapat dikelompokkan ke dalam kategoi tafsir yang menggunakan metode muqarrin. Benarkah asumsi penyusun tersebut? Untuk mengetahui jawabannya, maka terlebih dahulu perlu dijelaskan apakah yang dimaksud dengan tafsir perbandingan itu sendiri? Apa saja kategori dari tafsir perbandingan? Kategori- kategori dari tafsir perbandingan tersebut nantinya digunakan sebagai alat analisa atas pembacaan kitab Rawāi’ al-Bayān. Beberapa permasalahan tersebut yang melatarbelakangi mengapa paper ini disusun oleh penulis. Semoga bermanfaat, amin.

B. Kerangka Teori; Tafsir Perbandingan.
1. Pengertian Istilah Perbandingan.
Kata perbandingan, dalam bahasa Inggris disebut comparison yang diambil dari akar kata bahasa latin comparatio, comporare (membandingkan). Dalam bahasa Indonesia istilah komparatif memiliki makna berbandingan, bersamaan, bersejajaran, bersama-sama, bersifat perbandingan.
Perbandingan merupakan suatu pensejajaran dua objek atau lebih untuk menemukan persamaan atau perbedaan antara objek yang dikaji. Pada kondisi tertentu, perbandingan menjadi prasyarat penting untuk sebuah generalisasi dan menjadi dasar putusan melalui analogi. Putusan-putusan mengungkapkan hasil baru dari perbandingan itu. Putusan-putusan itu berfungsi untuk menentukan isi dari konsep-konsep objek yang dibandingkan. Dalam penelitian, tujuan dari metode komparasi ini adalah untuk menguak secara jelas dan tegas sifat-sifat hakiki dalam objek penelitian.
2. Teori Perbandingan dalam Agama, Sosial Islam dan Antropologi.
Dalam konteks agama, perbandingan adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang berusaha menyelidiki serta memahami aspek atau sikap keagamaan dari suatu kepercayaan, dalam hubungannya dengan agama-agama lain meliputi persamaan dan perbedaannya.
Sementara itu, dalam konteks agama Islam ilmu perbandingan agama memiliki kedudukan antara lain sebagai jembatan yang berusaha memahami semua aspek yang diperoleh dari sejarah agama, kemudian dibandingkan satu agama dengan lainnya untuk mencapai dan menentukan struktur yang fundamental dari pengalaman-pengalaman dan konsepsi-konsepsi keagamaan dengan memilih dan menganalisis persamaan dan perbedaan antara agama-agama itu dari segi tujuan, metode, dan konsepsi untuk mencapai tujuan itu. Jembatan penghubung di sini tidak dimaksudkan untuk menyatukan beberapa konsep dari pelbagai agama kemudian dilebur menjadi satu, melainkan untuk menentukan ciri-ciri agama secara holistik.
Cara tersebut dalam kaca mata ilmu sosiologi Islam dikenal dengan istilah tipologi, yang menurut Ali Syari’ati terdapat lima hal, yakni pertama, mengklasifikasikan dan mengadakan perbandingan tentang konsep Allah dalam Islam dengan objek sesembahan yang ada dalam agama lain. Kedua, mengklasifikasikan dan mengadakan perbandingan tentang konnsep-konsep yang ada dalam al-Qur'an dengan kitab-kitab suci agama lain. Ketiga, mengklasifikasikan dan mengadakan perbandingan tentang pribadi Nabi Muhammad saw. dengan pribadi-pribadi besar agama lain, yang hidup sepanjang sejarah. Keempat, mengklasifikasikan dan membandingkan tokoh-tokoh besar dalam Islam dengan tokoh-tokoh besar agama lain beserta aliran-aliran pikirannya. Kelima, mengklasifikasikan dan membandingkan alam lingkungan tempat Muhammad saw. dibesarkan, termasuk juga umat yang menjadi sasaran dakwahnya.
Lebih jauh, Koentjoroningrat mengajukan beberapa metode guna menyatukan dari berbagai pendapat para ilmuwan, yakni pertama metode critical discrimination yaitu pembatasan kritis dari bahan keterangan, terdiri dari metode-metode untuk mengumpulkan, mencatat, menyusun, dan melukiskan gejala-gejala masyarakat dan kebudayaan. Kedua, metode penentuan generality dan sistem yaitu jalan menuju ke arah penentuan generality dan sistem atau penentuan prinsip-pirnsip umum dari sistem itu. Ketiga, metode empirical verification, yaitu pengujian dalam kenyataan itu terdiri dari metode-metode yang hendak menguji lebih lanjut prinsip-prinsip umum dalam sistem yang telah didapatkan dalam kenyataan kehidupan masyarakat.
Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa dalam konteks ilmu agama, sosial Islam dan antropologi perbandingan dimaksudkan untuk menemukan titik temu, generality dan verifikasi.
3. Teori Perbandingan dalam Hukum Islam.
Dalam hukum Islam dikenal istilah istinbat al-hukm yakni usaha mengeluarkan atau penggalian hukum Islam, untuk itu diperlukan sumber-sumber hukum. Sebagaimana diketahui sumber hukum tersebut adalah pertama, al-Qur'an sebab ia diyakini memiliki kebenaran yang mutlak. Kedua, hadis. Ketiga, al-ijmā’. Keempat, al-qiyās. Pada posisi terakhir inilah peluang ijtihad terbuka lebar. Dalam hal ini ketika mujtahid dihadapkan dengan masalah yang bertentangan, maka terdapat beberapa solusi penyelesaian.
Di sini penyusun melihat istinbat hukum yang dilakukan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Salah satu langkah yang ditempuh Muhammadiyah adalah melakukan al-tarjih yakni memilih dalil yang lebih kuat untuk diamalkan dan meninggalkan dalil yang lebih lemah. Sementara itu, NU melakukan taqrir jamā’i guna menentukan qawl atau wajh. Salah satu yang dipertimbangkan adalah mengambil pendapat yang lebih maslahat atau yang lebih kuat.
4. Teori Perbandingan dalam Ilmu Hadis.
Dalam konteks ilmu hadis, terutama dalam kajian naqd al-matn (kritik matan hadis) terdapat beberapa teori penyelesaian terkait dengan kandungan matn yang tampak bertentangan. Teori-teori yang diajukan tidak sama dalam hal urutannya. Adapun teori-teori tersebut, dengan berbagai variannya dapat disimpulkan sebagai berikut: pertama, melakukan at-tarjih (penelitian untuk mencari petunjuk yang memiliki argumen yang terkuat). Kedua, an-Nāsikh wa al-Mansūkh (hadis yang satu menghapus petunjuk hadis yang lain). Ketiga, al-Jam’u (pengkompromian). Keempat, at-Tauqif (menunggu sampai ada petunjuk atau dalil yang dapat menyelesaikan atau menjernihkannya).


5. Teori Perbandingan dalam Ilmu Tafsir.
Metode komparatif adalah membandingkan teks ayat-ayat al-Qur'an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi yang beragam, dalam satu kasus yang sama, atau diduga beragam, dalam satu kasus yang sama, membandingakan ayat al-Qur'an dengan hadits Nabi Muhammad saw yang pada lahirnya antara keduanya terlihat bertentangan dan membandingkan berbagai pendapat para ulama tafsir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an.
Dari pengertian di atas, hal penting yang patut dicatat adalah pengertian yang diberikan oleh al-Farmawi bahwa metode komparatif adalah menjelaskan ayat-ayat al-Qur'an berdasarkan atas pendapat yang pernah ditulis oleh sejumlah mufasir.
6. Kategori Tafsir perbandingan.
Berangkat dari kerangka teori di atas, maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan tafsir perbandingan adalah menafsirkan al-Qur'an dalam rangka menemukan makna tafsir al-Qur'an dari sumber-sumber yang sudah ada.
Dari teori-teori di atas, paling tidak terdapat tiga kategori sebuah tafsir dapat nilai sebagai tafsir perbandingan, yakni: pertama, tafsir tersebut memuat pendapat dari para mufasir sebagai sumber perbandingan. Kedua, mufasir melakukan usaha al-tarjih. Ketiga, mengambil istinbat sebagai al-wajh al-istidlāl (sebagai petunjuk dalil).
Tiga kategori tafsir perbandingan di atas dijadikan sebagai rujukan utama oleh penyusun dalam “memotret” tafsir Rawāi’ al-Bayān karya as-Sābūni sebagaimana yang akan dibahas di bawah ini.

C. Kajian Kitab Rawāi’ al-Bayān fi Tafsiri Ayāt al-Ahkām min Al-Qur'ān.
1. Biografi Singkat as-Sābūni.
As-Sābūni adalah pengarang dan penyusun kitab Rawāi’ al-Bayān. Dalam muqaddimah tafsirnya, ia menyebutkan hal-hal yang melatarbelakangi disusunnya tafsir tersebut. Salah satunya, ia menjelaskan bahwa atas pertolongan Allah lah ia diberi kemudahan dan kesempatan untuk menelaah, mengajar, menulis serta menyusun sebuah kitab tafsir dengan tujuan mampu memberikan kemudahan dan kejelasan kepada umat dalam memahami ajaran-ajaran yang terkandung dalam al-Qur'an, khususnya ketentuan-ketentuan yang tidak ditetapkan Allah melalui ayat-ayat al-ahkām-Nya. Hal ini didukung pula oleh tempat dan kondisi yang tenang, damai, dan tentram yakni Makkah (ka’bah, al-bat al-‘Atiq). Dalam muqaddimah tafsirnya, as-Sābūni juga menjelaskan bahwa keberadaan pendapat dan ijtihad ulama terdahulu mengenai penafsiran ayat-ayat hukum layak untuk disyukuri dan dihargai.
Sementara itu, karya-karyanya antara lain: Kitab safwāh al-Tafsir (terdiri dari dua jilid, disusun di Makkah tahun 1961), kitab Rawāi’ al-Bayān, Tafsir Sūrah Yasin, I’jāz al-Bayān fi Suwār al-Qur'ān, al-Tibyān fi ‘Ulum al-Qur'ān, al-Mawāris fi al-Syari’āti al-Islāmiyah ‘ala Dau al-Kitāb wa as-Sunah, al-‘Anbiyā’ wa al-Mursalin, Qabasūn min Nūr al-Qur'ān al-Karim.
As-Sābūni merupakan mufasir yang sangat produktif dalam aktivitas penafsiran al-Qur'an, ia memadukan asal makna dengan detail kandungannya serta keindahan dalam tampilan uraiannya. Hal ini tidak berlebihan, sebab tulisan-tulisannya banyak tersebar dalam koran maupun majalah seperti tulisannya tentang Nazarāt fi Surat al-Zumār yang termuat dalam The Moslem World (Al-‘Alām al-Islāmi) 9 Mei 1999/ 1420 H. Quraish Shihab dalam hal ini mencatat bahwa karya terbaru as-Sābūni adalah Qabasūn min Nūr al-Qur'ān al-Karim. Tafsir 16 jilid ini menurut Quraish Shihab dikategorikan dalam bahasan analitik-tematik dengan metode bi al-ma’sur.
2. Sistematika Penulisan Kitab Rawāi’ al-Bayān.
Kitab Rawāi’ al-Bayān fi Tafsiri Ayāt al-Ahkām min Al-Qur'ān (keterangan yang indah tentang tafsir ayat-ayat hukum dari al-Qur'an) terdiri dari dua jilid, dihimpun khusus untuk mengkaji ayat-ayat hukum dengan metode kuliah ilmiah. As-Sābūni mencoba mengkompromikan antara sistematika lama dalam hal kebagusannya ke dalam sistematika baru dalam hal kemudahannya. Ia berusaha menampilkan susunan tafsir yang lembut dengan ketelitian yang mendalam.
Sistematika penyusunan Rawāi’ al-Bayān adalah mengurutkan susunan tafsirnya yang dimulai dari surah al-Fātihāh hingga surat al-Muzammil, dan hanya memfokuskan pada ayat-ayat hukum, sehingga tidak semua ayat dalam surah ditafsirkan, meskipun demikian ia tetap menafsirkan sesuai dengan tartib almushāfi.
Kerendahan hati as-Sābūni tampak ketika ia mengatakan bahwa tafsirnya ini bukanlah hasil pikiran pribadinya, melainkan ikhtisar dari pikiran-pikiran ulama terdahulu baik mereka yang ahli fiqh, hadis, usul dan lain-lain. Dalam hal ini ia mengibaratkan dirinya laksana seorang insan yang melihat permata dan mutiara-mutiara yang berharga, berserakan di sana sini, kemudian ia menghimpun dan menyusunnya dalam satu untaian. Atau juga seperti seorang yang masuk di sebuah kebun yang indah, di dalamnya terdapat sebuah buah-buahan dan bunga beraneka warna yang mempesona, kemudian ia mengeluarkan tangannya dengan halus, kemudian (memetiknya) dan dihimpun dalam sebuah vas, hatta menarik hati dan mempesona pandangan.
Dengan kata lain as-Sābūni tidak ingin menulis tafsirnya, sebelum ia membaca lebih dari 15 karya tafsir, di samping juga kitab-kitab bahasa dan hadis sebagai sumber bacaan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Karya as-Sābūni ini memuat sepuluh aspek pembahasan, tujuannya adalah untuk mempermudah memahami ayat-ayat yang ia tafsirkan. Kesepuluh pembahasan itu adalah:
Pertama, pengertian kosa kata, uraian lafaz dengan berpegang pendapat para mufasir dan ahli bahasa. Contoh: kata as-sufahā’ dalam (Qs: al-Baqarah: (2): 142) dan dalam (Qs: an-Nisā’: (4): 5). Meskipun kata ini secara bahasa memiliki arti yang sama yakni “tidak cerdas”. Namun, dalam aplikasinya ia memiliki makna yang berbeda kata ini dalam surah pertama diartikan dengan “orang-orang Yahudi, Musyrikin, dan Munafikin”, sementara dalam suarah yang kedua diartikan dengan “orang-orang yang tidak bisa mengelola keuangan atau al-mubāzirin.
Kedua, arti global dari ayat-ayat tersebut dalam bentuk spontan (tanpa sumber pengambilan). Hal ini sesuai dengan kaedah penafsiran al-Qur'an. Menurut as-Sābūni ijmāli adalah dikemas dalam bahasa sendiri, tidak menggunakan catatan kaki, atau sumber pengambilan sebagaimana lazimnya tulisan (karya ilmiah). Tujuannya adalah agar pembaca tidak terganggu perhatiannya dalam memahami maksud ayat secara ringkas dan menyeluruh.
Ketiga, latar belakang turunnya ayat (al-asbāb al-nuzūl) jika memang ada. Dalam muqaddimah tafsirnya, ia menjelaskan bahwa tidak semua ayat al-Qur'an memiliki al-asbāb al-nuzūl. Oleh karena itu, as-Sābūni tidak selalu menampilkan al-asbāb al-nuzūl-nya. Meskipun demikian, al-asbāb al-nuzūl termasuk salah satu aspek yang dibahasnya.
Keempat, segi-segi pertalian ayat baik yang sebelum atau sesudahnya, yang dikenal dengan segi al-Munāsabah al-ayāt. Hal ini disebut juga dengan wajh al-munāsabah bain al-ayāt (segi kesesuaian di antara ayat-ayat). Munāsabah berangkat dari pemahaman bahwa ayat dan surah dalam al-Qur'an adalah satu kesatuan yang utuh, memiliki hubungan antara satu kalimat dengan kalimat lain dalam satu ayat, antara satu ayat dengan ayat lain dalam satu surah, atau antara satu surah dengan surah yang lain.
Kelima, analisis atau pembahasan dari segi al-Qirā’at (jika ada). Qirā’ah merupakan masdar dari kata qara (bacaan). Menurut Isma’il Sya’bān adalah ilmu yang mempelajari cara membaca lafaz-lafaz al-Qur'an serta perbedaan cara membacanya, menurut versi orang yang menukilnya. Menurut Imam al-Zarkāsi adalah perbedaan lafaz-lafaz al-Qur'an baik menyangkut huruf-hurufnya maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut seperti takhfif, tasydid, dan lain-lain. Sementara itu, kebanyakan ulama mendefinisikan secara umum, yakni mencakup pula lafaz al-Qur'an yang tidak memiliki perbedaan qirā’at, dengan kata lain muttafaq ‘alaih (disepakati bacaannya oleh para ahli qirā’at).
As-Sābūni dalam tafsirnya mengkaitkan qirā’at dengan akibat hukum dan kesejarahannya sebagaimana penafsirannya dalam (Qs: al-Māidah: (5): (6).
Keenam, pembahasan mengenai al-I’rāb. Dalam hal ini as-Sābūni tampak lebih banyak menerangkan tarkib (susunan) kata untuk menjelaskan mana yang menjadi al-mubtada’, f ā’il, al-maf’ūl, al-sif āt, dan lain-lain.
Ketujuh, intisari tafsir, mencakup rahasia susunan redaksi ayat, kehalusan tafsir (dari segi sastra atau al-balaghāh dan kelembutan ilmiahnya). Kehalusan tafsir (lat āif al-tafsir) dianggap penting oleh as-Sābūni, dengan alasan pembaca akan lebih tertarik dan mudah mencerna makna yang dikandung dalam suatu ayat. Meskipun demikian, menurut pnyusun, kebanyakan karya tafsir yang menggunakan aspek ini malah sering kali merepotkan pembacanya. J.J.G Jansen, menyanggah pendapatnya Ibn Khaldun yang menyatakan bahwa al-Qur'an diwahyukan dengan bahasa arab dan menurut gaya retorika mereka, maka mereka dapat memahami al-Qur'an. Sebab, realita menunjukkan tidak semua orang Arab dapat memahami al-Qur'an. Karenanya penafsiran al-Qur'an tetap menjadi sesuatu yang urgen.
Kedelapan, kandungan hukum dan argumentasi-argumentasi para fuqāha serta al-tarjih di antara dalil-dalil mereka yang dikenal dengan sebutan al-istinbāt al-hukm. Sesuai dengan namanya, maka pembahasan tentang hukum dalam tafsir ini menjadi sangat penting. As-Sābūni dalam tafsirnya mengambil sumber dari pendapat para sahabat, tabi’in, kemudian para imam madzhab. Dalam masalah fiqh, as-Sābūni mengambil metode at-talfiq dan at-tarjih, yakni tidak berpegang pada satu madzhab, dan mengambil pendapat yang lebih kuat.
Kesembilan, al-natijāh secara ringkas. Dalam hal ini as-Sābūni mengemukakan petunjuk-petunjuk yang diperoleh dari ayat, atau dalam bentuk kesimpulan ringkas yang biasanya berupa point-point dengan menggunakan nomor 1,2 dan seterusnya. Ia selalu memuat makna global dan kesimpulan pada setiap pembahasannya. Jika makna global diletakkan diawal pembicaraan, maka kesimpulan berada diakhir pembahasan sebelum al-hikmāh al-tasyri’.
Kesepuluh penutup memuat al-hikmāh al-tasyri’. Tujuan dari pembahasan terakhir ini adalah untuk vmenunjukkan bahwa pada setiap ayat hukum yang dibahas mengandung hikmah, dan dapat diambil pelajarannya, sehingga dapat menjadi pendukung bagi pemberlakuan ayat-ayat hukum. Dalam konteks ini lah as-Sābūni banyak mengutip pendapat para mufasir tentang al-hikmāh al-tasyri’.
3. Metode dan Corak Penafsiran as-Sābūni.
Metode tafsir adalah langkah-langkah yang teratur dan seperangkat ulasan materi yang disiapkan untuk penulisan tafsir al-Qur'an agar sampai pada maksud dan tujuan.
As-Sābūni ketika menafsirkan ayat al-Qur'an tentang masalah Qurban ia melihatnya sebagai jalan untuk taqarrub illa allah. Selanjutnya ia mengkaji al-Munāsabah al-ayāt dan al-asbāb al-nuzūl-nya, pembahasan kosa kata dan lafaz, kandungan hukum dengan mengambil sumber dari hadis, pendapat para ulama guna memperjelas masalah.
Demikianlah, hampir setiap dari praktik penafsirannya ia selalu menekankan pada pengambilan sumber-sumber penafsiran yang yang telah ada. Dengan demikian, maka dapat dikatakan jika karyanya masuk dalam kategori metode tafsir muqarrin (perbandingan).
Sementara itu, terkait dengan corak (al-laun) penafsiran di sini adalah pemikiran yang mendominasi dari karya-karya mufasir sesuai dengan kecenderungan atau latarbelakang keahlianya.
Corak penafsiran selama ini yang dikenal antara lain adalah corak sastra (bahasa), filsafat dan teologi, corak penafsiran ilmiah, corak Fiqh atau hukum. Kitab Rawāi’ al-Bayān karya as-Sābūni ini termasuk dalam kategori tafsir fiqh atau hukum. Sebab, karya ini lebih banyak mengkaji ayat-ayat hukum. As-Sābūni sendiri tidak terpaku pada satu mazhab tertentu.

D. Analisa Penafsiran as-Sābūni.
Hal yang dapat dilihat dari karya ini adalah penggunaan istinbāt al-hukm, yakni usaha mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalilnya. Rawāi’ al-Bayān adalah tafsir yang berusaha menampilkan ketetapan hukum dari ayat-ayat hukum, dan menetapkan hukum as-Sābūni mengikuti cara yang digunakan al-ahl al-usūl, yakni penetapan hukum dapat dilakukan dengan menggunakan ijtihad.
Ijtihad tidak dapat dilakukan manakala kasus yang hendak ditetapkan hukumnya telah ada dalil yang sarih (jelas) serta qat’i (pasti). Ijtihad berlaku manakala suatu kasus belum ada nas hukumnya. Hal ini dapat dilakukan melalui qiyās, istihsān, istishāb, atau memperhatikan ‘urf, atau pun al-maslahah al-mursalah.
Terkait dengan hal ini, Subhi Mahmasani membagi Mujtahid ke dalam empat tingkatan, pertama: Mujtahid fi asy-Syar’i atau Mujtahid al-Mutlaq, yakni mereka yang bebas dari ikatan mazhab tertentu, bahkan mereka adalah pendiri mazhab, seperti mazhab empat dalam tradisi Sunni dan Imam Ja’far as-Sadiq dari kalangan Syi’ah.
Kedua, Mujtahid fi al-Mazhāb yakni mereka berijtihad dengan tetap terikat pada mazhab-mazhab tertentu dan menjadi pengikut salah satu mazhab. Meskipun demikian, terkadang dalam beberapa masalah pokok dan masalah al-furū’ mereka memiliki pendapat yang berlainan dengan mazhabnya dan berpegang teguh pada pendapatnya sendiri. Dalam thabaqah ini adalah Abu Yusuf dan Muhammad Ibn al-hasan dalam Mazhab Hanafi atau Muzani dalam Mazhab Syafi’i.
Ketiga, Mujtahid fi al-Fatwa, yakni ulama-ulama mujtahid yang berijtihad dalam beberapa masalah dan fatwa, di mana mereka melakukan ijtihadnya itu dengan tidak memakai adsar umum dari mazhabnya, seperti al-Thabari dan as-Sarakhsi dalam mazhab Hanafi dan al-Ghazali dalam mazhab Syafi’i.
Keempat, Mujtahid Muqayyad, yakni mereka yang di dalam ijtihadnya terikat dengan pendapat-pendapat serta mengikuti ijtihad ulama slaaf. Mereka adalah ulama-ulama yang sudah ahli dalam memutuskan ketentuan hukum sesuatu, sebab memang cakap dalam mengatasi perselisihan pendapat di antara riwayat-riwayat mana yang kuat atau lemah, riwayat yang terang atau samar. Tergolong dalam thabāqah ini adalah al-Kurkhi dan al-Khaduri dalam mazhab Hanafi.
As-Sābūni dalam karyanya Rawāi’ al-Bayān dapat dimasukkan ke dalam golongan terakhir ini. Sebab, ia dalam mengemukakan permasalahan-permasalahan hukum selalu menyebutkan beberapa pendapat yang berbeda-beda disertai dengan dalil-dalil dan alasan-alasannya. Selanjutnya, ia mengkahiri pembahasannya dengan tarjih yakni menguatkan (memberikan penilaian) pendapat mana yang sahih dan pendapat mana yang jauh dari kebenaran. Caranya ini dalam kaca mata ilmu Usūl al-Fiqh disebut dengan talfiq.
Sementara itu, ia tidak terikat oleh salah satu mazhab. Salah satu contoh dalam masalah sihir, ia menilai pendapat jumhur lebih kuat ketimbang pendapat Mu’tazilah. Dalam hal wajib tidaknya qada puasa sunah yang rusak, ia lebih memilih Hanafiyah ketimbang Syafi’iyah. Sementara masalah “debu yang suci” dalam tayamum, ia menguatkan pendapat syafi’iyyah dari pada Hanāfiyah.

E. Kesimpulan.
1. Terdapat tiga kategori tafsir perbandingan, yakni: Pertama, tafsir tersebut memuat pendapat dari para mufasir sebagai sumber perbandingan. Kedua, mufasir melakukan usaha al-tarjih. Ketiga, mengambil istinbāt sebagai al-wajh al-istidlāl (sebagai petunjuk dalil).
2. Tafsir as-Sābūni Rawāi’ al-Bayān fi Tafsiri Ayāt al-Ahkām min al-Qur'ān dapat disebut sebagai tafsir perbandingan. Sebab, tafsir ini memuat tiga kategori di atas. Pertama, sumber penafsiran yang digunakan as-Sābūni adalah sumber-sumber yang sudah ada. Kedua, as-Sābūni telah melakukan usaha pengkomparasian dengan metode tarjih atau dalam ilmu usūl al-fiqh disebut talfiq. Ketiga, usaha as-Sābūni dalam istinbāt hukum adalah usaha wajh al-istidlāl (usaha mencari petunjuk dalil).
3. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Tafsir as-Sābūni Rawāi’ al-Bayān fi Tafsiri Ayāt al-Ahkām min al-Qur'ān adalah tafsir muqarrin (perbandingan) yakni menafsirkan al-Qur'an dalam rangka menemukan makna tafsir al-Qur'an dari sumber-sumber yang sudah ada, sementara, coraknya adalah corak al-fiqh.
DAFTAR PUSTAKA


Alusi. Ali al-, al-Thabathaba’i wa Manhajuhu fi Tafsir al-Mizan, Teheran: al-Jumhuriyah al-Islamiyah, 1985.

Amal. Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Bandung: Mizan, 1996.

Aminuddin. M. Hasbi, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman, Yogyakarta: UII Perss, 2000.

Bahy. Muhammad al-, “Pengantar”, dalam Mahmud Saltut, Tafsir al-Qur'an al-Karim, Mesir: Dar al-Qalam, t.t.

Baidan. Nasruddin, “Metodologi Penelitian Tafsir”, dalam Makalah Seminar 14- 08-1999.

Basri. Cik Hasan, Penuntun Susunan Rencana Penelitian dan Penulisan Skripsi Bidang Ilmu Agama Islam, Jakarta: Logos, 1998.

Esposito. John L. (ed.), “Fazlur Rahman” dalam The Oxford Encyclopedya of the Modern Islamic World, New York: Oxford University Perss, 1995.

Farmawi. Abd al-Hayy al-, Al-Bidāyah fi Tafsir Maudhu'i, Dirasah Manhajiah Maudhu'iah. Terj. Suryan al-Jamrah. Metode tafsir Maudui: Suatu Pengantar, Jakarta: LsiK, 1994.

Hanafi. Hasan, Dirasah Islamiyyah, Kairo: Maktabah Anglo Mishriyyah, 1981.

Hidayat. Komaruddin, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian Hermeneutika, Jakarta: Paramadina, 1996.

Ilyas. Hamim, “Kata Pengantar”, dalam Muhammad Yusuf, Studi Kitab Tafsir; Menyuarakan Teks yang Bisu, Yogyakarta: Teras kerjasama dengan TH-Press, 2004.

Khulli. Amin al-, Manāhij Tajdid fi al-Nahw wa al-Balāghah wa al-Tafsir wa al-Adab, Kairo: Dar al-Ma'rifah, 1961.

Koentjoroningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1989.
Ma’arif. Ahmad Syafi’i, “Neo-Modernisme Islam dan Islam di Indonesia, Mempertimbangkan Fazlur Rahman”, Makalah t.t.

Manzur. Ibn, Lisān al-Arab, Beirut: Dār Sadhr. Vol. V.t.t

Osborne. Grant S., The Hermeneutical Spiral, Downers Grore-Illionis: University Press, 1991.

Palmer. Richard E., Hermeneutics Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey Hidegger and Gadamer, Evanston: North Westren University Press, 1969.

Qadir. Ahmad ‘Ata ‘Abd al-, At-Tafsir as-Sufi li al-Qur'ān , Dirasah wa Tahqiq li Kitab I’jaz al Bayān fi Ta’wil Umm al-Qur'ān li Abi al-Ma’ali . al-Qunawi, Kairo: Dar al-Kutub al-Hadith, 1968.

Qurtubi. Al-, Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur'ān, Kairo: Dār al-Kitab al-‘Arabiy, 1967.

Rahman. Fazlur, “Interpreting the Qur’an”, Inquiry, Mei 1986. “The Qur’anic Concept of God, the Universe and Man", Islamic Studies, Vol. VI, No. 1, 1967.

____________, “The Qur’anic Solution of Pakistan’s Educational Problem”, Islamic Studies, Vol. VI, No. IV, 1967.

____________, Islam and Modernity:Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago: The University of Chicago Press, 1984. Edisi Indonesia Islam dan Modernitas Tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 2000.

____________, Major Themes of The Qur’an, Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, edisi II, 1999. Edisi Indonesia Tema Pokok Al-Qur’an, terj. Anas Muhyidin, Bandung: Pustaka, 1985.

Raziy. Fakhr al-Din al-, Al-Tafsir al-Kabir, Mesir: al-Mathba’ah al-Mishriyyah, 1983.

Sābuny. Muhammad ‘Ali as-, Al-Tibyān fi Ulūm al-Qur’an, Beirut: Dār al-Iftikār, 1990.

Shihab. M. Quraish, Membumikan al-Qur’an, Membumikan al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1994

Singarimbun. Masri, Metode Penelitian Survive, Jakarta: LP3ES, 1989.

Syarqawi. 'Iffat Muhammad as-, Ittijāhat al Tafsir fi Mishra fi al Ashr al Ahādis, Kairo : 1972.

Syuyūthi. As-, Al-Jāmi' al-Shāghir, Ahādis al-Basyir an-Nadzir, Indonesia: Maktabah Dār Ihya' al-Kutūb al-Arabiyyah, t.t.

Thabathaba’i. Muhammad Husain, “Otobiografi”, dalam Inilah Islam ; Upaya Memahami Konsep Islam Secara Mudah, terj. Ahsin Muhammad, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992.

____________, Al-Mizān fi Tafsir al-Qur`an, Beirut: Muassasah al-‘Alami, 1973.

____________, Islam Syiah ; Asal Usul dan Perkembangannya, terj. M. Mahyuddin, Jakarta : Pustaka Grafiti, 1983.

Welch. Alford T., “Qur’anic Studies: Problem and Prospects”, Journal of the American Academy of Religion, Vol. 47, 1979.

Welch. Alford T., The Muslim World, 1984.

Zarkasyi. Muhammad Ibn Abdullah al-, Al-burhān fi Ulūm al-Qur’an, Beirut: Dār al-Ma'rifah, t.t.

Zarqāni. Al-, Manāhil al-‘Irfān fi Ulum al-Qur'ān, Beirut: Dār al-Ihyā’ al-Kutub al-‘Arabiah, t.t.

2 komentar:

  1. maaf kalau boleh ana tau ini islamuna ikatan silaturahmi alumni smansa pontianak bukan?

    BalasHapus
  2. maaf bukan.... ini blog pribadi saya.... maaf juga jika jawabannya terlalu lama. jazakumullah

    BalasHapus