METODOLOGI TAFSIR FEMINIS
(Telaah atas Pemikiran Riffat Hasan)
Oleh: Shohibul Adib, S.Ag., M.S.I
A. Pendahuluan.
Masalah perempuan telah memperoleh perhatian yang cukup besar di seantero dunia dan berbagai komunitas yang kemunculannya ditandai dengan kesadaran mengenai nasib dan kondisi perempuan yang selama ini tertindas dan mengalami pemberlakuan yang kurang adil karena hegemoni sistem pa¬triarkhi. Sebuah siatem yang memandang bahwa perempuan derajatnya lebih rendah di bawah laki-laki karenanya harus tunduk kepada kekuasaan laki-laki demi terciptanya kehidupan keluarga dan masyarakat yang harmonis.
Anehnya, kondisi dan nasib perempuan yang kurang menguntungkan tersebut sering dilegetimasi oleh dalil-dalil agama yang kadang syarat dengan muatan politis. Agama di sini lebih dijadikan sebagai “topeng” untuk melanggengkan status quo dan hegemoni patriarkhi. Akibatnya, kaum perempuan terus berada dalam posisi yang marginal (hami>sy) dan subordinat di bawah laki-laki. Oleh karena itu, bagi kaum feminis sistem patriakhi yang membuat perempuan teraliensi dan tertindas, perlu dicari akar masalahnya. Usaha kaum feminis ini kemudian dikenal dengan gerakan feminisme yang dilandasi oleh semangat memperjuangkan keadilan, persamaan dan kebebasan.
Dalam perspektif sejarah, gerakan feminisme muncul pertama kali di Amerika sekitar akhir abad 19 atau awal abad 20 dalam rangka mendapatkan hak memilih (the right to vote). Namun setelah memperoleh hak tersebut pada tahun 1920 gerakan femenisme ini tenggelam lagi. Baru setelah Betty Friedan menerbitkan bukuThe Second Sex, The Feminine Mystique (1963) gerakan ini mendapat sambutan besar dari masyarakat dan memberikan kesadaran baru (new consciousness) bagi kaum perempuan bahwa peran tradisional ternyata cenderung menempatkan mereka dalam posisi marginal.
Dalam kajian tentang pemikiran Islam kontemporer, diskursus tentang isu-isu gender merupakan hal relatif baru. Sejak dua dekade lalu, memang telah terdapat kajian tentang politik Islam, ekonomi Islam dan negara Islam, bahkan mungkin sampai sekarang, namun tidak ada pembahasan yang memasuki kajian wilayah gender. Di dunia Islam, para tokoh feminis yang dipan¬dang cukup aktif sebagai penggerak gerakan feminisme Islam belakangan ini antara lain adalah Riffat Hassan, Fatima Mernissi, Amina Wadud Muhsin, Ashghar Ali Engineer yang sudah mulai menulis di sekitar 1970 atau awal Tahun 1980.
Dari sekian tokoh feminis tersebut di atas, Riffat Hassan termasuk feminis Islam cukup produktif, terbukti banyaknya karya yang telah dia tulis. Riffat Hassan melalui beragam tulisannya ingin membangun paradigma baru yang lebih segar dalam melihat isu-isu tentang gender. Karenanya, ia mencoba melakukan kajian kritis, terhadap penafsiran-penafsiran jumhur ulama yang dianggap telah bias patriarkhi. Menurutnya, selama ini sumber-sumber yang menjadi landasan tradisi Islam terutama al-Qur'an, al-Hadis dan Fiqh didominasi penafsirannya oleh kaum laki-laki. Merekalah yang mendefinisikan –baik secara ontologis, teologis, sosiologis maupun eskatologis—tentang kedudukan perem-puan. Tidaklah mengherankan, jika kemudian penafsiran tersebut cenderung bias patriarkhi sehingga membawa implikasi sosiologis ke arah semakin kuatnya hegomoni dan dominasi kaum laki-laki atas perempuan.
Sampai di sini, Riffat Hassan ingin melakukan pembongkaran atau dekonstruksi meminjam istilah Derrida—terhadap konsep-konsep yang terkait dengan isu gender dari berbagai sudut pandang, baik sosiologis, psikologis, antropologis maupun \teologis dengan menawarkan metodologi tafsir feminis.
Dengan metodologi tafsir feminisnya, Riffat Hassan mencoba menafsirkan kembali ayat-ayat al-Qur'an yang relatif berbeda, bahkan kontroversial dengan para jumhur mufassir klasik sebelumnya, seperti al-Qurt}ubi>, al-Zamakhsyari> dan al-Alu>si>, Jalaluddin al-Suyu¬t}i. Sebagai contohnya adalah penafsiran kata nafs wahidah dan zawjaha> dalam Surat an-Nisa>' ayat: 1, al-’Araf ayat: 189 dan az-Zumar ayat: 6. Oleh jumhur ulama, dalam hal ini para mufassir klasik, kata nafs wa>hidah dan zawjaha> ditafsirkan sebagai Adam (laki-laki), manusia pertama dan Hawa manusia kedua sebagai istrinya.
Riffat Hassan menolak model penafsiran tersebut. Sebab,menurutnya penafsiran seperti itu mempunyai implikasi bahwa secara teologis perempuan hanya merupakan bagian dari laki-laki. Jika demikian, berarti laki-laki dengan perem¬puan tersebut tidak setara. Padahal menurut Riffat, jika benar bahwa laki-laki dan perempuan telah diciptakan setara oleh Allah, maka di kemudian hari mestinya tidak berubah menjadi tidak setara. Kalau dalam kenyataan historis-empiris hal itu kemudian berubah menjadi tidak setara, berarti ada something wrong dalam sejarah perempuan, sekaligus menya¬lahi rencana Tuhan. Akhirnya Riffat sampai kepada kesim¬pulan bahwa sebenarnya Adam dan Hawa itu diciptakan secara serempak dan sama substansinya. Bagaimana ia membangun metodologi tafsirnya? Apa kelebihan dan kekurangannya? Adalah pertanyaan yang akan di bahas dalam paper ini. Semoga bermanfaat, amin.
B. Mengenal Riffat Hassan
Riffat Hassan adalah salah seorang tokoh feminis musli¬mah yang lahir di ujung galee (lorong), suatu daerah yang berdampingan dengan Temple Road Lahore, Pakistan. Tanggal, bulan dan tahun kelahirannya belum diketemukan secara pasti oleh penulis. Menurut dugaan penulis, ia lahir kira-kira tahun 1945-an. Hal ini didasarkan pada analisa sejarah pendidikan formalnya.
Secara geniologis, Riffat berasal dari lingkungan keluarga Sayyid. Sejak kecil dia tinggal di Lahore, sebuah kota Islam bersejarah di Pakistan. Masa kecilnya merupakan mimpi buruk baginya. Sebab ia berada dalam lingkungan rumah tangga yang penuh konflik dan tidak harmonis. Oleh sebab itu, meskipun berasal dari keluarga sayyid kelas atas, Riffat tidak pernah merasakan kebahagiaan dalam hidupnya, yang disebabkan oleh seringnya konflik dalam keluarganya, khususnya ayah dan ibunya. Bahkan hampir dalam setiap masalah, ayah dan ibunya selalu terdapat perbedaan yang sangat diametral.
Ayahnya, Begum Shahiba, demikian orang-orang memang¬gilnya adalah seorang sangat konservatif di daerahnya. Pandangannya sangat tradisional dan patriarkhal. Salah satupandangannya adalah bahwa kawin terbaik bagi perempuan adalah pada usia 16 tahun dengan seorang yang menjadi pilihan orang tua, khususnya ayahnya. Namun demi¬kian, di sisi lain –sebagaimana diakui Riffat Hassan sen¬diri- ayahnya adalah orang yang suka membantu dan meno¬long orang lain baik masalah pribadi profesional maupun sosial. Ayahnya benar-benar orang yang sangat peduli terhadap orang-orang yang tak beruntung.
Sedangkan ibunya Dilara cenderung berpandangan feminis, dalam pengertian bahwa ia mempunyai perhatian yang cukup besar terhadap nasib perempuan. Ibunyalah yang telah mendidik dan menanamkan keyakinan kepada Riffat sejak kecil bahwa perempuan tidak inferior di hadapan laki-laki. Salah satu pandangan ibunya adalah bahwa mendidik anak perempuan lebih penting dari pada laki-laki. Dalam perspektif historis terlihat bahwa orang-orang Arab pra Islam suka mengubur anak perempuan mereka hidup-hidup, karena mengangagap anak perempuan tidak hanya sebagai beban ekonomi, tapi juga ancaman bagi kehormatan laki-laki sesukunya. Pandangan minor terhadap anak perempuan tersebut mendapat kritik tajam dari al-Qur'an. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam surat an-Nahl ayat 58-59.
Secara sosio-kultural, lingkungan masyarakat di mana Riffat Hasan tinggal juga sangat kuat hegemoni patriarkhinya. Hal ini terlihat dari adanya sistem undang-undang dan norma-norma yang berlaku di masyarakatnya, yang cenderung mendiskriditkan dan meminggirkan peran perempuan. Kepemimpinan dalam masyarakatnya lebih mengutamakan kaum laki-laki (baca: male domination). Seolah-olah perempuan secara kodratnya memang harus dipimpin oleh laki-laki, dan tidak boleh memimpin laki-laki.
Lebih lanjut, dari setting keluarganya, tampak bahwa benih-benih feminis Riffat Hasan diwarisi dari Ibunya sendiri. Ibunya mempunyai sikap yang tidak mau kompromi dengan kebudayaan Islam tradisional. Dia menolak keras terhadap kultur dan tradisi yang meneguhkan in¬ferioritas dan ketundukan perempuan kepada laki-laki.
Dengan demikian, secara geneologis Riffat sudah mewarisi pemikiran feminisme dari ibunya. Ide-ide feminisme tersebut lalu tumbuh dan berkembang seiring dengan sikap reaktif-konfrontatif yang dilakukan Riffat terhadap sistem masyarakat yang patriarkhis-hegemonik.
Pendidikan, Karier Intelektual, dan Karya-karya Riffat Hassan
Pendidikan Riffat Hassan dapat dikategorikan menjadi dua model, yaitu pendidikan formal dan informal. Pendidikan informalnya ia peroleh langsung dari pengalaman dan reali¬tas empiris baik keluarga maupun masyarakatnya, ditambah dengan kegemarannya membaca buku-buku secara otodidak. Sedangkan pendidikan formalnya, ditempuhnya ketika ia menginjak remaja, melalui sekolah menengah berbahasa Inggris yang menjadi sekolah unggulan di daerahnya. Bahkan konon sekolah itu juga menjadi simbol status. Di situlah Riffat menerima pendidikan bahasa Inggris dengan baik.
Adapun karya-karyanya antara lain adalah 1)The Role and Responsibilty of Women in Legal and Ritual Tradition of Islam, 2) Equal before Allah, 3) Feminist Theology and Women in the Muslim World. Karya karya lain yang berupa artikel antara lain berjudul Muslim Women and Post Patriarchal Islam, The Issue of Women-Men Equality in Islamic Tradi¬tion, Jihad fi Sabilillah dan lain sebagainya.
Sementara itu, karya-karya yang telah dihasilkan dalam bentuk artikel antara lain: 1. The Role and Responsibilities of Women in the Legal and Ritual Tradition of Islam. 2. Equal Before Allah? Wome Man Equality in Islamic Tradition 3. Feminis Theology and Women In the Muslim World 4. What does it mean to be a Muslim Today? 5. Women Living Under Muslim Laws 6. Muslim Women and Post Patriarchal Islam 7. The Issue of Women-men Equality in Islamic Tradi¬tion 8. Jihad fi Sabilillah; A Muslim Woman's Faith Journey from Struggle to Struggle to Struggle. 9. Women's and Men's Liberation 10. Women's Rights in Islam. 11. Women Religion and Sexuality.
C. Metodologi Tafsir Feminis ala Riffat Hassan
1. Konstruksi Metodologi Riffat Hassan
Kondisi latar belakang yang penuh krisis serta pergo¬lakan-pergolakan emosional dan intelektual yang dialami Riffat semenjak usia kanak-kanak dan digumulinya dalam rentang waktu yang sebagian besar berada di dunia bersis-tem patriarkhi, rupanya memberikan inspirasi bagi dirinya untuk menganyam dan merajut secara sistematik kerangka perjuangannya dalam termanya sendiri, yaitu Jiha>d fi> Sabi>¬lilla>h, usaha atau perjuangan karena Tuhan. Hal ini merupakan keharusan qur'ani bagi seluruh umat Islam.
Selanjutnya Riffat juga ingin membangun kerangka dasar paradigmatik model kepercayaan baru dalam konteks Islam dan isu-isu keperempuanan. Sebab ia merasa yakin bahwa selama ini telah terjadi pencemaran dan distorsi historis antara ajaran Islam normatif yang bersumber pada al-Qur'an dengan Islam historis yang selama ini dipraktekkan di masyarakat patriarkhi. Konstruksi paradigmatik itu kemu¬dian diintrodusir oleh Riffat sebagai teolog feminis. Istilah teologi tadinya memang hanya mengacu pada pengertian ilmu ketuhanan. Namun, kemudian dalam perkem¬bangannya, khususnya pada era 1970-an dan 1980-an muncul istilah teologi dalam berbagai kualifikasi, seperti teolo¬gi pembangunan, teologi transformatif, termasuk teologi feminis. Teologi feminis dalam konteks Islam dimaksudkan oleh Riffat untuk membebaskan (liberation; taharrur) bagi perempuan dan laki-laki dari struktur dan sistem relasi yang tidak adil, dengan cara merujuk kitab suci (baca: al-Qur'an) yang diyakini sebagai sumber nilai tertinggi. Inilah yang dalam sistem filsafat etika, oleh George Fadlau Hauroni disebut dengan theistic-subjectivism, yaitu sistem nilai yang merujuk kepada kitab suci.
Dilihat dari perspektif epistimologi, corak berfikir Riffat yang suka merujuk teks kitab suci, dapat dikategorikan sebagai corak epistimologi baya>ni> (explanatory). Istilah ini tekankan oleh Al-Jabiri yang mencoba memetakancorak khas pemikiran Islam (baca: Arab) ke dalam tiga macam epistimologi, yaitu baya>ni> (explanatory), burha>ni> (demonstrative), irfa>ni> (illuminatif). Epistimologi bayani biasa dipakai oleh kaum teolog, fuqaha>', mufasir, sedang burhani dipakai oleh filosuf dan ‘irfa>ni> dipakai oleh ahli tasawuf.
Namun,menurut hemat penulis, Riffat Hassan dapat dikatagori¬kan sebagai seorang pemikir yang menganut aliran baya¬niyyun dan burhaniyyun sekaligus. Sebab ia disamping selalu merujuk teks kitab suci, juga menguraikan penafsirannya secara lebih filosofis.
Menurut Ian G. Barbour sebagaimana dikutip oleh Amin Abdullah, ada dua ciri menonjol dalam corak pemikiran teologis, termasuk teologi feminis, yaitu: Pertama, pemikiran teologis itu bersifat personal commitment terhadap ajaran agama yang dipeluknya. Agama adalah persoalan hidup dan mati (ultimate concern). Pemeluk agama –termasuk dalam hal ini adalah Riffat Hassan yang konsern terhadap al-Qur'an— akan mempertahankan dengan gigih, hingga rela berkorban. Di sini agama erat kaitannya dengan emosi. Kedua bahasa yang digunakan pemeluk agama adalah bahasa seorang pelaku atau actor, bukan bahasa peneliti dari luar (out sider spectator).
Berangkat dari teori tersebut, rupa-rupanya Riffat mau bersusah payah ingin meneliti dan mengkaji ulang prinsip-prinsip ajaran al-Qur'an demi mencapai tujuan yang diperintahkan agama. Jadi fundamental struktur dari teologi feminisme yang hendak dibangun Riffat adalah bagaimana aga terwujud suatu sistem relasi dan struktur masyarakat yang adil antara lelaki dan perempuan di bawah sinar petunjuk al-Qur'an.
2. Pendekatan
Dalam rangka membangun paradigma teologi feminis yang erat kaitannya dengan isu-isu keperempuanan, Riffat meng¬gunakan pendekatan dua level, yaitu: Pertama, pendekatan normatif-idealis, yakni teologi feminis yang hendak dirumuskan itu mengacu kepadanorma-norma yang bersumber dari ajaran Islam yang ideal. Paling tidak ada dua sumber pokok ajaran Islam, yaitu al-Qur'an dan Hadis yang selalu dijadikan rujukan oleh kaum muslimin dalam memecahkan berbagai persoalan hidup, baik persoalan sosial budaya, ekonomi atau persoalan keagamaan pada umumnya. Menurut Riffat sumber utama dan pertama yang dijadikan rujukan itu adalah al-Qur'an yang diyakininya sebagai sumber nilai tertinggi.
Dengan kata lain pendekatan normatif-idea¬lis (normative ideal approach) adalah suatu pendekatan di mana ketika seseorang peneliti mau melihat persoalan, ia merujuk kepada yang bersifat ideal normatif. Dalam kon-teks ini ia akan melihat bagaimana al-Qur'an menggariskan prinsip prinsip dasarnya yang lebih bersifat idealis normatif, misalnya bagaimana seharusnya perempuan itu menurut al-Qur'an, baik tingkah lakunya, hubungannya dengan Tuhannya, dengan orang lain, dan dengan dirinya sendiri.
Riffat mencoba melihat lebih dahulu sisi ideal normatif yang digambarkan al-Qur'an mengenai perempuan. Setelah itu kemudian Riffat mencoba melihat bagaimana kenyataan empiris yang ada dalam masyarakat. Sebab bagaimanapun prinsip-prinsip dasar tersebut harus dijabarkan bukan di ruang hampa, melainkan dalam konteks sosio-historis kemanusiaan.
Menurut penulis, nampaknya Riffat ingin mengatakan bahwa hanyalah lewat pemahaman al-Qur'an secara komprehen¬sif dan utuh, seseorang akan mendapatkan pokok-pokok ajaran Islam yang terkait dengan isu-isu kesetaraan lelaki dan perempuan, sistem relasi lelaki perempuan yang adil yang dilandasi semangat menghormati hak-hak asasi manu¬sia. Sebab menurutnya, al-Qur'an diyakini sebagai sumber nilai tertinggi, oleh karenanya perlu dijadikan pedo-man.
Kedua, pendekatan historis-empiris. Setelah melihat secara cermat dan kritis bagaimana sebenarnya pandangan ideal normatif al-Qur'an, Riffat mencoba melihat bagaiman kenyataan secara empiris his¬toris kondisi perempuan dalam masyarakat Islam. Sehingga di satu sisi Riffat mendapatkan gam¬baran yang teoritis bersifat normatif idealis mengenai pandangan al-Qur'an terhadap perempuan. Namun, di sisi lain dia juga mencoba mendapatkan gambaran perempuan yang menyejarah dan empiris dalam masyarakat Islam.
Sayangnya menurut Riffat, data empiris membuktikan bahwa dalam kasus perempuan ternyata terdapat kesenjangan yang sangat lebar antara yang das solleen dengan das sein. Dengan lain kata lain, masih terjadi gap antara yang idealis-normatif dengan yang historis-empiris-realis¬tis, dan hal ini merupakan keadaan yang dialami hampir semua perempuan di manapu mereka berada. Bahkan dalam komunitas muslim Barat, menurut Riffat nasib perempuan juga masih memprihatinkan.
Jika demikian kenyataannya, berarti ada something wrong dalam sejarah perempuan. Padahal mestinya fundamental values yang ada dalam al-Qur'an seperti semangat kebebasan, keadilan, kesejajaran dan penghormatan atas hak-hak asasi kemanusiaan dapat terjabarkan dan teraktualisasikan dalam historisitas kemanusiaan yang nyata. Inilah rupanya salah satu hal yang menjadi kegelisahan dan mendorong Riffat untuk melakukan reinterpretasi bahkan dekonstruksi terhadap ayat-ayat al-Qur'an yang mengandung bias-bias patriarkhi.
Kedua pendekatan yang dipakai oleh Riffat tersebut dilakukan secara dialktis-integartif dan fungsional. Artinya keduanya tidak dipisah-pisah¬kan; ketika Riffat melihat sisi ideal normatif, ia kemu¬dian juga melihat sisiyang empiris-realistis. Pada level normatif Riffat merujuk kepad al-Qur'an, sebab Riffat menilai al-Qur'an itu sumber nilai tertinggi dalam Islam.
Sedangkan pada level historisnya, Riffat melihat bagaimana praktek-praktek perlakuan terhadap perempuan yang terjadi dalam masyarakat Islam. Dengan kata lain, Riffat ingin mengatakan bahwa hanyalah lewat pemahaman al-Qur'an secara komprehne¬sif dan utu akan mendapatkan pokok-pokok ajaran Islam yang terkait dengan masalah isu-isu kesetaraan antara lelaki dan perempuan, sistem relasi yang adil antara keduanya, semangat menghormati hak-hak asasi manusia dan lain sebagainya. Riffat dalam konteks ini jelas berangkat dari true believer bahwa al-Qur'an adalah sabda Tuhan yang merupakan norma ideal Islam yang mestinya menjadi pedoman bagi umat manusia masa lalu dan masamendatang. Inilah sistem etika yang oleh George F. Hourani dikate¬gorikan sebagai theistic subjectivism,. Dalam pengertian bahwa baik dan buruk, termasuk di dalamnya bagaimana sistem relasi yang baik antara lelaki dengan perempuan ditentukan Tuhan lewat pemahaman ayat-ayat al-Qur'an yang komprehensif.
3. Tiga Prinsip Metodologis
Selanjutnya, Riffat Hassan mencoba mengembangkan tiga prinsip metodologis sebagai operasionalisasi metode yang ditawarkannya, terutama ketika ia mencoba melakukan penafsiran tandingan (counter exegeses). Ketiga prinsip metologis tersebut adalah: 1. Memeriksa ketepatan makna kata (language accuracy) dari berbagai konsep yang ada dalam al-Qur'an dengan menggunakan analisis semantik. 2. Melakukan pengujian atas konsistensi filosofis dari penafsiran-penafsiran yang telah ada. 3. Menggunakan prinsip etis, yang didasarkan pada prinsip keadilan yang merupakan pencerminan dari justice of God atau keadilan Tuhan.
Tiga prinsip ini dapat dielaborasi lebih lanjut sebagai berikut: Pertama, mula-mula Riffat mencari makna kata yang sebenarnya dari konsep tertentu berdasarkan akar kata aslinya, kemudian meletakkan pengertian tersebut sesuai dengan konteks masyarakat di mana konsep tersebut diguna¬kan. Hal ini dimaksudkan untuk menguji konsep-konsep yang telah terderivasi.
Kedua, memahami al-Qur'an sesungguhnya harus secara integral, sebab ia merupakan satu kesatuan makna yang teranyam dan terajut secara dialektis. Sedemikian rupa, sehingga kesan adanya kontradiktif dapat dihindari atau minimal dapat dieliminir, dan hal itu dijadikan untuk meni¬lai dan menguji sumber dan sistem nilai lainnya.
Keharusan memahami al-Qur’an secara integral tersirat misalnya dalam Surat an-Nisa': 82. Oleh karena itu, Subhi as-Salih, salah seorang pakar Ulumul Qur'an menegaskan perlunya prinsip al-Qur'anu Yufassiru Ba'd}uhu ba’d}an. Artinya ayat-ayat al-Qur'an itu satu dengan yang lainnya dapat saling menafsirkan.
Ketiga, hasil penafsiran-penafsiran yang ada harus diuji dengan prinsip etis yang menekankan aspek keadilan. Dengan demikian, suatu penafsiran akan dinilai benar (baca:s}ahi>h) secara metodologis, jika selaras dengan prinsip-prinsip keadilan. Demikian sebaliknya, suatu hasil penafsiran akan dinilai salah, jika mengabaikan prinsip-prinsip keadilan, kerena dapat menyebabkan penindasan dan ketidakadilan bagi perempuan khususnya dan manusia pada umumnya.
Lalu, pertanyaannya apa ukuran keadilan itu? Di sini Riffat Hassan tidak menjelaskan secara eksplisit. Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu penulis kemukakan pandangan Wardah Hafidz tentang ukuran-ukuran keadilan gender yang dimaksud, yaitu tidak ada satu jenis kelamin yang tersubordinasi oleh yang lain, yang ditandai oleh antara lain 1) tidak ada perbe¬daan dalam soal kekuasaan, 2) tidak ada marginalisasi terhadap jenis kelamin dengan mengurangi kesempatan 3) keadilan dalam sterotype (citra baku) yang sebenarnya hanya mitos 4) tidak ada yang menanggung beban lebih berat dari yang lain. Inti dari gerakan feminisme adalah memperjuangkan keadilan gender sebagai salah satu bagian dari keadilan sosial.
4. Metode Analisis
Adapun metode analisis yang digunakan Riffat adalah metode historis kritis konetsktual. Metode ini diterapkaan ketika ia berhada¬pan dengan data-data atau teks yang dipakai dalam peneli¬tian. Artinya, sumber-sumber yang dijadikan rujukan peneli¬tian, khususnya hadis dan tradisi Islam yang sudah diprak¬tikkan betul-betul dikritisi, dilihat bagaimana setting historisitasnya, tidak begitu saja diterima sebagai taken for granted.
Kemudian dalam kerangka analisis, ia menggu¬nakan metode komparasi, dengan melakukan studi perban¬dingan antar teks, termasuk teks-teks Injil dalam Genesis II. Sedangkan metode kontekstual, nampaknya lebih diterapkan pada pemaknaan kata pada ayat al-Qur'an dengan melihat konteksnya, baik yang khusus maupun umum yang oleh Fazlur Rahman disebut sebagai Asba>b an-Nuzu>l mikro dan makro. Dengan begitu, Riffat akan dapat membedakan secara tegas mana yang bersifat legal formal, dan mana yang sesungguhnya lebih merupakan ideal moralnya.
D. Contoh Penafsiran tentang Purdah/Jilbab
Secara harfiah jilbab (Q.S.al-Ahzab: ayat 59) diartikan sebagai kain yang dapat menutup kepala dan dada perempuan. Dalam hal ini as}-S}a>buni> mengutip kamus Lisa>n al-Arab dan Bahr al-Muhit karya al-Fairuz Zabadi.
Jika ditafsirkan secara tekstual, maka pakaian jilbab atau purdah harus mampu menutupi seluruh tubuh perempuan, selain wajah dan dua telapak tangan. Riffat mencoba melakukan kontektualisasi konsep jilbab dengan mengambil sisi ideal moralnya, dan tida ingin terjebak pada legal formalnya. Ideal moral dari pemakaian jilbab adalah agar seorang perempuan tersebut tidak diganggu dan terhor¬mat. Oleh karena itu, menurut Riffat jilbab dapat diartikan sebagai pakaian yang menurut kepantasan setempat dan menjadikan perempuan dihormati kemanusiaannya.
Secara historis, sistem purdah telah menjadi institusi kaum muslimin selama kurang lebih seribu tahun. Ia berevolusi secara bertahap selama tiga abad pertama Islam awal dan mapan secara penuh selama abad ke 10 dan ke 11 Masehi dengan dukungan interpretasi kaum teolog dan fuqaha pada masa Khalifah Abasyiah. Sejak itu pula sistem purdah menjadi bagian integral dari masyarakat dan kebudayaan kaum muslimin abad pertengahan. Akhirnya ia dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kaum muslimin, sampai-sampai perempuan non-Islam seakan-akan bisa dipandang sebagai muslimah hanya karena mengenakan cadar (purdah).11
Dalam pandangan Riffat, masalah purdah (cadar) sebenarnya merupakan masalah yang cukup kompleks. Konsep purdah (cadar) memang merupakan salah satu hal yang menjadi diskurus hangat di kalangan kaum feminis, seperti Fatima Mernissi, Qasim Amin dan lain sebagainya termasuk Riffat Hassan sendiri.
Menurut Riffat, munculnya konsep purdah, bermula dari adanya suatu sistem pembagian dua wilayah dalam masyarakat Islam, wilayah privat yaitu rumah, dan wilayah umum yaitu tempat kerja. Perempuan berada di wilayah privat, sedangkan laki-laki di wilayah umum. Menurut asumsi umum masyarakat Islam, selama masing-masing pihak tetap berada ditempatnya, semuanya akan beres dan aman. Ini berarti sistem segregasi (pemisahan). Menurut pandangan umum masyarakat Islam, kedua jenis kelamin itu harus dipisahkan dan pengaturan semacam ini dianggap paling tepat dan paling baik.
Jika terpaksa perempuan harus memasuki wilayah umum (wilayah laki-laki) karena alasan ekonomi sehingga ia harus bekerja atau alasan mendesak lainnya, maka dia harus diberi tutup atau purdah (cadar). Sedemikian rupa, sehingga walaupun dia ada, tapi seakan-akan tidak ada. Dia ada tanpa muka, suara dan tanpa identitas. Dengan kata lain, konsep purdah adalah perpanjangan prinsip segresi.
Setelah Riffat Hassan, menjelaskan asumsi umum masyarakat Islam, dia lalu mencoba bagaimana pandangan al-Qur'an tentang hal itu. Menurut pemahaman Riffat, sebenarnya ideal moral yang dikehendaki al-Qur'an adalah prinsip kesahajaan. Al-Qur'an sangat menekankan bahwa perempuan harus bersahaja, bukan saja dalam berpakaian, tetapi juga dalam berbicara, berjalan, bertingkah laku dan lain sebagainya. Prinsip semacam ini juga dianjurkan kepada lelaki, meskipun selanjutnya hal itu lebih banyak ditujukan kepada perempuan. Letak bias gendernya adalah ketika dalam prakteknya prinsip kesahajaan itu hanya ditekankan pada perempuan. Hal itu tentu tidak dinginkan oleh Riffat Hassan. Sebab pandangan tersebut terkesan masih “deskriminatif”, sebab seakan-akan perempuan yang dipojokkan dalam masalah ini, tubuh mereka seakan-akan dipandang sebagai fitnah bagi kaum lelaki.
Dalam konteks ini, menarik kiranya penulis kemukakan pendapat Fatima Mernissi dengan mengutip pendapat Murdock. Beliau membagi masyarakat menjadi dua kelompok. Pertama, mereka yang melakukan penghormatan terhadap perempuan terhadap aturan seksual melalui internalisasi yang kuat terhadap larangan seksual selama proses sosialisasi. Kedua, mereka yang melakukan penghormatan terhadap aturan seksual melalui usaha pencegahan eksternal, seperti aturan untuk tidak saling bertemu antara laki-laki dan perempuan, karean masyarkat seperti ini gagal untuk menginternalisasikan larangan seksual kepada anggota masyarakatnya. Menurut Murdock Barat termasuk kelompok pertama, sedangkan pada masyarakat yang menerapkan aturan cadar termasuk kelompok kedua.
Pandangan Riffat Hassan tentang purdah adalah berangkat dari sejarah periklanan, baik yang modern atau masa sebelumnya, bahwa sejak berabad-abad selalu tubuh perempuan yang menjadi objek reklame. Boleh jadi ini disebabkan karena tubuh perempuan diciptakan sedemikian indahnya, sehingga cocok untuk hal itu atau mungkin karena dalam masyarakat patriarkhi perempuan selalu menjadi objek seks. Maka al-Qur'an memerintahkan kepada perempuan agar tidak berpakaian dan bertingkah laku seperti objek seks, supaya orang tidak menuduhnya bahwa ia ingin diperlakukan sebagai objek seks.
Dalam konteks seperti itulah menurut Riffat, maka Nabi disuruh memerintahkan istri-istrinya dan kaum perempuan yang beriman, ketika akan meningggalkan rumah agar memakai purdah, supaya dianggap perempuan saleh dan tidak diganggu. Hal ini sebagaimana tersurat dalam surat al-Ahzab ayat 59. Implikasi dari ayat ini adalah bahwa al-Qur'an sama sekali tidak melarang perempuan untuk keluar rumah atau bekerja di luar rumah. Al Qur'an tetap membolehkan perempuan keluar rumah atau bekerja di luar rumah, namun ia harus berpakaian sedemikian rupa, sehingga akan dipandang dan diperlakukan secara baik dan tidak diganggu.
Dari penjelasan tersebut, nampaknya Riffat ingin meluruskan asumsi umum tentang cadar yang berimplikasi terhadap prinsip segregasi, (pemisahan) sehingga perempuan menjadi tidak boleh keluar rumah atau bekerja di luar rumah. Penjelasan Riffat tersebut masih terkesan seksis, dan itu diakui sendiri oleh Riffat. Namun menurutnya hal itu wajar dan masuk akal. Pemikiran Riffat tersebut berangkat dari kenyataan di lapangan bahwa ada daerah-daerah di Pakistan, jika seorang perempuan memakai rok mini, ia akan diganggu dan dipandangi dan di raba-raba bahkan diperkosa. Oleh karena itu, menurut Riffat memang sebaiknya seorang perempuan berpakaina yang menurut rasa kepantasan (wajar) yang menjadikan perempuan dihormati kemanusiaannya.
Menurut Riffat perempuan tidak harus menutup mukanya dengan cadar ketika keluar rumah, sebab jika memang wajib menutup wajah, mengapa dalam al-Qur'an laki-laki ketika bertemu perempuan disuruh menundukkan pandangannya?. Dengan demikian, Riffat mengartikan hijab (termasuk cadar, jilbab atau purdah) tidak harus berupa pakaian yang menutup seluruh tubuh perempuan termasuk muka dan telapak tangan, melainkan pakaian yang menurut rasa kepantasan. Pandangan semacam ini boleh jadi sangat kontekstual, sehingga pengertian jilbab dalam al-Qur'an menjadi relatif dan kondisonal, sebab rasa kepantasan daerah satu dengan lainnya akan berbeda, antara dunia Barat dengan Timur juga berbeda. Begitu pula jika hal itu di tarik ke konteks Indonesia. Bukankah dapat dilihat bahwa corak dan ragam perempuan muslimah yang memakai jilbab sangat variatif. Gaya dan model seorang artis memakai jilbab tentu berbeda dengan seorang ibu muslimah di desa. Itu artinya bahwa sebuah interpretasi itu sebenarnya adalah contested (diperebutkan) dan ia sangat dipengaruhi oleh konteks sosio-kultural penafsirnya.
Penafsiran semacam itu memang sangat kontekstual, namun hal ini membawa implikasi penafsiran sangat relatif dan arbriter sifatnya. Sebab rasa kepantasan daerah tertentu dengan daerah yang lain mungkin akan berbeda. Bagi sebagian orang yang berpandangan “fundamentalis” akan berkata, mengapa kita tidak mengacu kepada praktek yang pernah dilakukan oleh para perempuan muslimah di zaman Nabi SAW sebagai reperesentasi perempuan muslimah yang ideal, dimana mereka berpakaian dengan cara menutup seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan telapak tangannya?.
E. Kesimpulan
Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa metodologi tafsir feminis yang digunakan Riffat mirip sekali dengan metodologi tafsirnya Fazlur Rahman yang selalu menekankan aspek ideal moral dari pada aspek legal formalnya. Artinya, teks-teks al-Qur’an harus dipahami spiritnya lebih dulu, sehingga tidak terjebak pada luarnya saja. Nampaknya, Riffat ingin membedakan secara tegas antara ketetapan legal formal dengan sasaran atau tujuan al-Qur'an. Sebagai contoh ketika ia memahami konsep cadar atau jilbab. Ideal moral dari pemakaian cadar adalah agar perempuan itu dihormati kemanusiaannya, yang dalam al-Qur’an dikatakan:” dzalika adna an yu’rafna fala yu’dzain”. Menurut Riffat, yang penting bagi perempuan itu memakai pakaian menurut rasa kepantasan setempat, tidak harus menutupi wajahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abu al-Qasim Jarullah Mahmud ibn Umar az-Zamakhsyari al Khawarizmi, al-Kasysya>f 'an Ha¬qa>'iq at-Tanzi>l wa al-’Uyu>n al-Aqa>wil fi> Wuju>h at-Ta'wi>l, Beirut: Dar al-Fikr, 1977.
Ahmad Warson, Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan PHLM. al-Munawwir, 1984
Al-Alusi. Ru>h al-Ma’a>ni fi> Tafsi>r al-Qur'a>n al ’Azi>m wa as-Sab’i al-Masa>nilai, t.t.hlm.: Dar al-Fikr, t.t.
Amin Abdullah, "Keimanan Universal di Tengah Pluralisme Budaya tentang Klaim Kebenaran dan Masa Depan Ilmu Agama", dalam Jurnal Ulumul Qur'an No: I Vol: IV tahun 1993
Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, Yogyakarta, LSPPA, 1994.
__________, "Perempuan dalam Syari'ah Perspektif Feminis dalam Penafsiran Islam dalam Jurnal Ulumul Qur'an No: III, Vol: IV, 1995.
D.HLM. Johnson, “Perubahan Sosial dalam Perspektif Toeri-teori sosial” dalam Aminuddin Siregar (ed.), Pemikiran Politik dan Perubahan Sosial dari Karl Poper hingga Peter L Berger, Jakarta: Akademika Pressindo, 1985
F. Wahono Niti Pawiro,Teologi Pembebasan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987.
Farid Wajidi, Perempuan dan Agama; Sumbangan Riffat Hassan dalam Fauzie Ridjal, et. al. (ed.) Dinamika Perempuan di Indonesia, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993.
Fatima Mernissi, Beyon the Veil; Male-Female Dynamics in Modern Muslim World, terj. M. Abadi,Surabaya: al-Fikr 1997.
Fatimah Mernissi & Riffat Hassan, Setara di Hada¬pan Allah; Relasi Laki-laki dan Perempuan dalam Tradisi Islam Patriarkhi, Yogyakarta: LSPAA Yayasan Prakarsa 1995.
G. F. Houroni, Reason and Tradi¬tion in Islamic Ethics, Cambridge: University Press Cam¬bridge, 1985.
Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqh Mar'ah al-Muslimah, terj. Anshori Umar, Semarang: CV. Asy-Syifa, 1981
Jalaluddin Rahmat dalam tulisannya "Tinjauan Kritis Atas Sejarah Fiqh; Dari al-Khulafa' al-Rasyidin hingga Madzab Liberalisme dalam buku Nurcholis Madjid dkk. Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta; Yayasan Paramadina, 1994.
John Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1983.
Kamla Bashin dan Nighat Said Khan, Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan Relevansinya, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995.
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: PT Reneka Cipta 1990.
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an; Tafsir Atas Berbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1996.
Maggie Humm, Feminist Criticism; Women as Contemporary Critics, Britain: The Harvaster Press, 1986.
Mazhar ul-Haq Khan,Wanita Korban Patologi Sosial, terj. Luqman Hakim, Jakarta: Pustaka, 1994.
Muhammad ’Ali as}-S}abuni>, Rawa>'iu al-Baya>n Tafsi>ru A>ya>ti al-Ahka>m min al Qur'a>n, Beiru>t: Da>r al-Fikr, t.t.
__________, Safwatu at-Tafasir, Beirut: Dar al-Fikr t.t.
Muhammad ‘A>bid al-Ja>biri>, Bunyatul ‘Aql al-‘Arabi, Beiru>t: Al-Markaz as|-Saqafi>, 1991.
Peter Salim, The Contemporary English-Indonesian Dictionary, Jakarta: Modern English Press. 1987.
Ratna Megawangi, "Feminisme: Menindas Peran Ibu Rumah Tangga", dalam Jurnal Ulumul Qur'an, No: 5 & 6 Vol: V, 1994.
Riffat Hassan, "Teologi Perempuan dalam Tradisi Islam; Sejajar di Hadapan Allah ?", dalam Jurnal Ulumul Qur'an, No: 4 Vol: I, 1990.
__________, Women, Relegion and Sexuality; Study of Impact of Relgious Teaching on Women,Philadelphia: Trinity Press, t.t.
__________, "Equal Before Allah Women-Manusia Equality in Islamic Tradition", dalam kumpulan artikel yang diterbitkan oleh The Commitee on South Asian Womens Bulletin, Vol: 4.
__________, “Jiha>d f>i Sab>ililla>h: A. Muslim Women's Faith Journey from Struggle to Struggle” dalam buku Women's and Men's Liberation, USA: Greenwood Press, 1993.
__________, “\Feminisme dan al-Qur'an” dalam Jurnal Ulumul Qur'an Vol II, Tahun 1990.
Subhi as}-S}a>lih, Maba>hit| fi> Ulu>m al-Qur'a>n, Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1988.
Wardah Hafidz, "Feminisme Islam" dalam Majalah Suara Hidayatullah, 10/VIII, Pebruari 1996.
Victoria Neufelt (ed.) Wester's News Wold Dictionary, New York: Webster's News World Clevenland, 1984.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar