JIHAD, berarti mengerahkan segala kemampuan, atau berjuang menghadapi pelbagai
kesulitan. Dalam hukum Islam, jihad mengandung usaha maksimal untuk menerapkan
ajaran Islam serta memberantas kemungkaran dan kezhaliman, baik terhadap diri
pribadi maupun masyarakat. Makna jihad dalam pengertian ini mencakup semua
jenis ibadat yang bersifat zhahir maupun batin. Jihad dalam pengertian umum
sebagaimana tersebut di atas diketemukan dalam perjuangan Rasulullah SAW pada periode Makah maupun periode Madinah. Di
dalam Alquran diketemukan makna jihad
seperti ini antara lain pada firman Allah surat
al-Furqan/25:52 dan al-Haj/22:78. Di samping pengertian jihad di atas, dijumpai
pengertian jihad dalam arti khusus, yaitu perang melawan musuh. Pengertian
khusus inilah yang dibicarakan secara luas dalam buku-buku fiqih dan selalu
dikaitkan dengan qitāl,
harb, dan ghazwat (pertampuran, peperangan, dan ekspedisi).
Jihad dalam ayat-ayat al-Qur'an yang turun pada periode Madinah (terutama
setelah turunnya ayat yang mengizinkan perang), mengandung makna ganda yaitu
mencakup pengertian khusus dan umum. Seperti firman Allah dalam surat
at-Taubah/9:73, Hai Nabi, berjihadlah menghadapi orang-orang kafir dan
orang-orang munafik, serta bersikap keraslah terhadap mereka…Kemudian al-Nah/16:27,
Sesunggubnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan
harta dan jiwa mereka di jalan Allah, juga orang orang yang memberi tempat
kediaman dan bantuan (kepada muhajirin), mereka saling melindungi satu sama lain. Dalam Mu‛jam Alfāz al-Qur'ān al-Karīm ditegaskan, kebanyakan kata jihad dalam
al-Qur'an berarti mengerahkan segala kemampuan untuk penyebaran dakwah Islam
serta mempertahankan dan melindunginya. Dengan demikian, pengertian jihad bukan
terbatas pada perang (qitāl, harb dan ghazwat),
tetapi mencakup segala bentuk kegiatan dan usaha yang sungguh-sungguh dalam
rangka dakwah Islam, amar makruf nahi
munkar. Bertitik tolak dari pengertian jihad sebagaimana disebutkan di atas, maka jihad berlangsung
secara berkesinambungan baik dalam situasi aman maupun perang. Jihad merupakan soko
guru yang sangat menentukan tegaknya ajaran Islam. Kehidupan aman, damai,
sejahtera, dan bahagia akan terwujud selama jihad ditegakkan. Sebaliknya jika
semangat jihad melemah, maka gairah bekerja akan pudar, sifat apatis, dan
pengecut akan muncul yang akhirnya mengakibatkan kemunduran dan kehancuran. Ada beberapa hal yang
menjadi latar belakang dan penyebab perlunya jihad dalam Islam, antara lain:
mempertahankan diri, memberantas kezhaliman, mewujudkan keadilan, dan kebenaran
(al-Baqarah/2:193 dan al-Nisa’/4:75-76). Tujuan jihad adalah, terlaksananya
ajaran Islam. Perintah jihad dalam Alquran seringkali dikaitkan dengan fī sabīlillāh. Hakikat sabīlillāh adalah segala jalur atau usaha untuk mencapai ridla Allah
dengan titik sentral pada perwujudan tauhid dalam bidang aqidah, kasih sayang
dalam bidang akhlak, dan adil dalam bidang syari’at. Kata jihad dirangkaikan
dengan sabīlillāh merupakan isyarat pelaksanaan jihad tidak boleh menyimpang
dari norma-norma dan kaidah-kaidah yang telah ditentukan Allah. Perintah jihad
telah dimulai sejak awal perjuangan Rasulullah pada periode Makah dan berlanjut
sampai pada periode Madinah. Jihad tidak dikaitkan dengan jangka waktu
tertentu, tetapi berlaku secara berkesinambungan dan merupakan ciri khas yang
menandai orang-orang beriman. Para ulama
sependapat, hukum jihad adalah wajib berdasarkan suatu nash yang terdapat dalam Alquran dan
Sunnah Rasul. Namun terdapat perbedaan pendapat tentang sifat wajibnya, apakah
dibebankan atas setiap individu (wajib ‘ain) atau bersifat kolektif (wajib
kifayah). Hal ini berpijak pada sudut pandang yang berbeda terhadap makna
jihad. Apabila jihad diartikan sebagai perang secara fisik, maka hukumnya fardu kifāyah, dan apabila jihad dimaksudkan dalam pengertian umum, maka
hukumnya fardu ‘ain, karena setiap muslim dapat melakukan jihad dengan hati,
lisan, harta, kekuasaan, dan sebagainya. Dengan demikian, jihad merupakan
kewajiban setiap muslim sesuai dengan profesi
dan kemampuan masing-masing. Ditinjau dari segi pelaksanaannya, jihad dapat
dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu: a) jihād mutlaq, b) jihād hujjat, c) jihad ‛ām. Ditinjau dari segi obyek atau sasaran jihad, Imam al-Raghib
sebagaimana dikutip Rasyid Ridha,
membagi jihad kepada tiga macam, yaitu a) jihad terhadap musuh yang nyata, b)
jihad terhadap setan, c) jihad terhadap hawa nafsu. Jika kita kembali merujuk
kepada hadits Nabi, ternyata jihad di medan laga disebut jihad asghar (jihad kecil) sedangkan jihad terhadap hawa nafsu disebut jihād akbar (jihad besar). Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Jabir bahwa
Nabi bersabda kepada dua orang sahabat yang baru kembali dari medan pertempuran: Kita kembali dari jihad
asghar menuju jihad akbar. Sahabat bertanya,
Apakah yang dimaksud jihad akbar? Nabi menjawab, Jihad akbar ialah jihad yang dilakukan
seseorang terhadap hawa nafsunya. Jihad dan mujahid mendapat penghargaan
yang tinggi dan memiliki keutamaan dalam Islam. Jihad disebut sebagai
perniagaan (tijarat) yang menyelamatkan, menguntungkan, dan memperoleh maghfirah
(ash-Shaffat/37:10-12). Tidaklah sama antara mu’min yang duduk (yang
tidak turut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang
berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan
orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk
satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik
(surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk
dengan pahala yang besar (al-Nisa’/4:95). Jihad termasuk amal utama (HR.
Bukhari Muslim), merupakan wisata (siyahah) bagi umat Islam (HR. Abu
Daud), para mujahid merupakan manusia terbaik (HR. Bukhari). Demikian tingginya
kedudukan dan keutamaan jihad, sehingga harus ditempatkan melebihi cinta
terhadap orang tua, anak, saudara, istri, dan harta kekayaan. Sebagaimana
firman Allah dalam surat al-Taubah/ 9:24, Kemudian Allah menurunkan
ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Allah
menurunkan bala tentara yang kamu tiada melihatnya, dan Allah menimpakan
bencana kepada orang-orang yang kafir, dan demikianlah pembalasan kepada
orang-orang yang kafir.
KEPUSTAKAAN:
Mahmud, Abdul Halim,
al-Jihād dalam Kitāb al-Mu’tamar al- Rabi, 1968; Ibn Qayyim
al-Jauziyah, Zād al- Ma‛ād, 1970; Ibn Qadamah, al-Mughnī,
1989; Ibn Taimiyah, Majmū‛ Fatāwā,
1938; Majma‛ al-Lughah al-Arabiyah, Mu‛jam Alfāz al-Qur'ān al-Karīm, t.th; al-Maraghi, Tafsīr al-Marāghī, 1990;
al-Mawardi, al-Ahkam as-Sultāniyah, 1989; Musa Syahin Lasyin, Fath al-Mu‛īn Syarh Sahīh Muslim, 1990; Rasyid Ridha, Muhammad,Tafsīr al-Manār, 1989; Quthub, Sayid, Fi Dlilal Alquran,
1990.