Sabtu, 12 Februari 2011

ISLAM DAN PEMBERITAAN KORUPTOR PADA MEDIA MASSA

ISLAM DAN PEMBERITAAN KORUPTOR PADA MEDIA MASSA

Oleh: Shahib al-Adiby

Dipertengahan Tahun 2007 kita disajikan niatan baik dari Kejagung dalam rangka menjerakan para koruptor di negeri yang memang terkenal sebagai sarangnya koruptor. Niatan baik itu adalah penayangan wajah koruptor yang dimasukkan sebagai bagian dari program pemberitaan oleh Kejaksaan Agung merupakan gebrakan baru dalam upaya pemberantas korupsi. Tulisan ini tidak untuk membuktikan apakah niatan baik itu sudah terealisasi atau belum? Melainkan lebih sebagai refleksi catatan akhir tahun.

Penayangan (pemberitaan) koruptor jika dikaitkan dengan kebebasan pers atau kebebasan berekspresi, maka akan muncul dua kepentingan yang dilematik-kontradiktif. Pertama, tentang keharusan untuk mengungkap kebenaran dan keadilan. Kedua, tentang perlindungan martabat (kehormatan) manusia. Dikatakan dilematik-kontradiktif karena keduanya sama-sama penting, sehingga akan muncul persoalan mana yang perlu diutamakan pelaksanaannya, dan mana yang ditangguhkan? Bagaimana maslahat dan mafsadatnya dalam pandangan hukum Islam?

Kebebasan pers

Berbicara mengenai pemberitaan secara umum, kita harus menyinggung masalah kebebasan berekspresi. Sebab pada dasarnya pemberitaan adalah bagian dalam cakupan kebebasan berekspresi yang meliputi kebebasan pers dan kebebasan untuk mengkomunikasikan gagasan-gagasan dalam segala bentuk termasuk buku, gambar, tanda dan cara-cara komunikasi melalui media massa yang tujuannya untuk menginformasikan, mempengaruhi, meyakinkan orang lain, mengungkapkan kebenaran dan keadilan, untuk menjernihkan persoalan, serta menghilangkan keraguan dan keresahan.

Adapun batasan kebebasan pers adalah lebih mengedepankan rasa tanggungjawab bagi pelaku dan penyandang profesi yang bersangkutan sesuai dengan etika dan hukum yang berlaku. Bila terjadi pelanggaran maka akan dilihat dari sudut eika profesi, UU pokok pers ataupun asas hukum umum yang berlaku (general principle of law) menyangkut; mengganggu ketertiban umum, penyiaran berita bohong, fitnah, hasutan, penghinaan dan pelanggaran kesusilaan, yang biasanya dikenal dengan sebutan delik pers.

Dengan dibuatnya delik pers sebagai norma hukum serta kode etik jurnalistik sebagai etik normatik, para wartawan dituntut untuk membuat berita yang bukan asal-asalan. Artinya keakuratan, kebenaran dan kejujuran berita harus diperhatikan. Selain itu, pertimbangan i’tikad baik dan pertimbangan patut tidaknya seorang wartawan untuk memberitakan hal-hal yang menyinggung kesusilaan, SARA, kehormatan seseorang dan kepercayaan hingga menyangkut berita pengadilan, harus juga diperhatikan dengan tetap menganut asas praduga tak bersalah. Pertimbangan soal dampak dan respek terhadap hak-hak pribadi masyarakat harus tetap dijaga. Sebab harus diakui bahwa pemberitaan memang sangat berperan dalam membentuk image dan opini masyarakat.

Dalam pandangan Islam, kebebasan pers juga dibatasi dengan ketat oleh ajaran Islam yang bersumber pada al-Qur'an dan hadis. Sebab media masa baik elektronik maupun non-elektronik dalam perspektif Islam merupakan sub (bagian) dari dakwah Islamiyah. Dalam perspektif ini, pers berfungsi menyampaikan ajaran agama kepada seluruh umat manusia, menjaga, memelihara dan mempertahankannya. Sementara itu, prinsip pemberitaan dalam pandangan Islam adalah: pertama, qawlan syadidan, pemberitaan yang benar (faktual dan objektif Qs: al Hujarat: (49) 6), jujur, lurus, tidak berbohong dan tidak berbelit-belit. Dalam hal ini menurut istilah Picktal sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin Rahmat: 1996, disebut dengan straight to the point. Kedua, qawlan balighan, ,pemberitaan yang jelas maknanya, terang dan tepat dalam mengungkapkan apa yang dikehendaki, atau biasa disebut dengan prinsip komunikasi yang efektif. Al-Qur'an memerintahkan umat Islam untuk berbicara secara efektif, dan bisa terjadi jika penyampaian berita dalam isi pemberitaannya menyesuaikan kondisi masyarakat sehingga diharapkan akan mampu menyentuh hati dan pikiran masyarakat secara bersamaan. Berdasarkan prinsip ini, dalam melihat kasus pemberitaan (penayangan) koruptor dapat dikategorikan sebagai kelompok zalim.

Pemahaman terhadap istilah zalim di sini adalah orang yang bertindak tercela karena tidak menempatkan atau menggunakan sesuatu pada tempatya. Hal ini pada saat sekarang bisa direpresentasikan pada tindak korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Sebab pemahaman terhadap korupsi itu sendiri adalah penyalahgunaan jabatan. Kolusi adalah sebuah bentuk kerja sama antara seseorang dengan pejabat terkait untuk mengambil keputusan ataupun tindak yang tidak benar (conspiration). Nepotisme adalah penempatan orang-orang yang tidak memiliki kapabilitas terhadap suatu tugas dan pekerjaan tertentu, tapi lebih dikarenakan atas dasar hubungan keluarga atau kerabat.

Perspektif hukum Islam antara maslahat dan mafsadatnya

Menurut Din Syamsudin penayangan koruptor merupakan amar ma’ruf nahi mungkar (Jawa Pos, 7/8/2007), sesuai dengan ajaran al-Qur'an (al-Imran: (3):110). Namun di sisi lain, ajaran Islam menyatakan perlunya menjaga dan melindungi kehormatan atau martabat manusia, dan adanya larangan terhadap segala bentuk kegiatan memata-matai dan pelanggaran kesucian tempat tinggal pribadi (Qs: al-Baqarah: (2): 189).

Salah satu hak asasi yang dianugerahkan Allah kepada manusia adalah kehormatan yang harus selalu dipelihara dan dilindungi. Adapun dalil qath’i tentang keharusan menyimpan dan menutupi aib (kejelekan) orang lain adalah hadis Nabi “Seorang muslim adalah saudara muslim lainnya… barang siapa menutupi keburukan orang Islam niscaya Allah akan menutupi keburukannya besok pada hari kiamat”.

Islam juga melarang umatnya untuk menyebutkan, membicarakan kejelekan orang lain karena termasuk gibah, yang oleh agama dianggap perbuatan tercela dan terkutuk. Orang yang suka melakukan perbuatan ini diibaratkan dalam al-Qur'an sebagai orang yang suka makan daging saudaranya sendiri. (Qs: al Hujarat (49): 12).

Dari paparan di atas, terkesan ada dua ajaran dalam Islam yang saling bertentangan, satu sisi perintah untuk mengungkap kebenaran dan keadilan, di sisi lain perintah melindungi kehormatan manusia.

Menyikapi persoalan ini, paling tidak terdapat dua hal yang membolehkan penayangan koruptor dalam perspektif hukum Islam. Pertama, harus mempertimbangkan aspek maslahat dan mafsadatnya. Dalam kasus penayangan koruptor, tampak adanya maslahat (kepentingan) umum yang sangat besar yang harus didahulukan, yakni mengungkap kebenaran demi keadilan social, atas maslahat yang lebih kecil. Selain itu ada keharusan mendahulukan kepentingan sosial atas kepentingan individu. Penjelasan ini sebagai aplikasi dari kaidah fiqhiyyah “mendahulukan kemaslahatan yang lebih besar atas kemaslahatan yang lebih kecil” dan “mendahulukan kemaslahatan kelompok (sosial) atas kemaslahatan individu (perorangan)”. Menurut Salim Bahreisy (1987:70) gibah diperbolehkan, jika berkaitan dengan suatu nasehat untuk kemaslahatan atau menghindarkan kezaliliman. Maka memberitakan atau menayangkan koruptor adalah diperbolehkan bahkan dianjurkan. Senada diungkapkan Imam Nawawi dalam karyanya Riyadhuhs Shalihin, menyatakan kebenaran dan keadilan termasuk juga gibah, jika dalam keadaan terpaksa dengan syarat bertujuan untuk mencegah tindak kejahatan. Sama halnya dengan saksi, seorang pembela maupun seorang pemohon yang dengan jelas mengungkapkan perbuatan jahat dan membicarakan karakter seseorang adalah diperbolehkan selama tindakan itu dapat membantunya dalam pengadilan. Selian itu, Bukankah Allah sendiri melalui al-Qur'an, telah memberi contoh berkaitan dengan pemberitaan orang-orang tercela, di dalamnya termasuk juga koruptor, seperti fir’aun, bani Israil, Korun, Abu lahab dan lain-lain. Dengan demikian, penayangan koruptor yang dimaksudkan untuk mengungkap kebenaran dan keadilan demi kemaslahatan umat merupakan realisasi dari tujuan hukum Islam itu sendiri, baik secara global maupun terperinci. Kedua, kebolehan pemberitaan (penayangan) koruptor dikuatkan oleh adanya pembentukan dan pelaksanaan salah satu cabang ilmu hadis berupa rijal al-hadis mencakup ilmu tarikh al-ruwah dan jarh wa al-ta’dil. Pemakaian ilmu jarh wa al-ta’dil sebagai legitimasi kebolehan pemberitaan koruptor karena sejak dahulu sampai sekarang para ulama masih terus men-tarjih (menyatakan cacat atau tidak adil) terhadap para rawi dan para saksi tindak kriminal.

Dalam konteks ini, dimana praktik KKN telah merajalela dan begitu menghawatirkan, penayangan wajah koruptor menjadi keharusan, dan harga mati yang tidak lagi bisa ditawar, hingga tahun 2008 menjadi tahun pertaubatan nasional bagi para koruptor, semoga!.